Menyatukan Nilai-Nilai Subkultur





Anggota :

Zanuar Setiantoko

Anisa M.T

Mayugi Tirta Palao

Lulu prianika




Menyatukan nilai-nilai subkultural

Pada masa transisi manusia-manusia pada suatu institusi mengalami tekanan-tekanan, rasa takut, cemas, dan tidak percaya, yang akhirnya dapat merenggangkan ikatan suatu institusi. Manusia-manusia organisasi atau para karyawan justru akan meningkatkan ikatan-ikatan emosional pada kelompoknya masing-masing. Akibat yang menonjol adalah nilai-nilai perlawanan dan ikatan yang kuat pada subkultur, bukan pada keseluruhan institusi. Subkultur tersebut dapat berupa ikatan-ikatan kelompok-kelompok kerja seperti unit-unit usaha, divisi, proses bisnis, profesi, atau profesional.

Transformasi nilai-nilai dalam suatu institusi tidak bisa langsung dilakukan melalui kultur organisasi itu sendiri (secara menyeluruh). Memang benar dalam kehidupan ini ada nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh seluruh manusia lintas sektoral dan lintas fungsional. Misalkan saja komitmen, loyalitas, pelayanan, mutu, keterbukaan, kemanusiaan, kejujuran, disiplin, team work, heartwork, dan tepat waktu. Dengan demikian, transformasi nilai-nilai organisasi perlu menyentuh akar budaya itu sendiri yaitu nilai-nilai subkultur.

PERUBAHAN TIDAK BERBENTUK LINEAR

Transformasi organisasi yang dilakukan dengan menyentuh nilai-nilai organisasi perlu mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan muncul dari sisi manusia. Dalam suatu proses transformasi nilai-nilai, kita tidak hanya akan berhadapan dengan satu-dua orang atau satu-dua kelompok, melainkan puluhan kelompok. Masing-masing kelompok bisa beraksi, bukan hanya terhadap stimulus perubahan dari atasannya saja, melainkan juga terhadap respon kelompok-kelompok (subkultural) lainnya. Beberapa kelompok mendukung, tapi lainnya menolak, bahkan lainnya enggan menerima. Akibatnya, transformasi nilai-nilai menjadi tampak kacau dalam prosesnya, yang semula diduga akan mendukung ternyata bisa menghambat, demikian pula sebaliknya. Tadinya diduga kelompok-kelompok akan berubah kalau mereka memperoleh informasi dari tangan pertama dan bisa memahaminya. Ternyata, mereka baru mau berubah kalau insentifnya memadai misalnya saja, kita ingin merubah budaya korupsi diantara pegawai negeri dengan membuat organisasi yang lebih ramping, proses bisnis dan pelayanan public yang computerized dan memiliki single accounting system. Dengan begitu seluruh dana tidak resmi menjadi resmi. Hal ini bisa lebih menertibkan keadaan dan banyak uang negara yang akan terselamatkan. Karyawan dan pejabat yang sudah biasa menerima penghasilan tidak resmi tentu akan menolaknya sepanjang insentif kearah sistem baru tersebut tidak memadai.

MEMETAKAN SUBKULTUR DALAM ORGANISASI

Dalam masa transisi, budaya perusahaan atau institusi terpecah-pecah ke dalam budaya kelompok-kelompok. Departemen keuangan seperti yang dikenal sebelum tahun 1980-an. Masing-masing direktorat memiliki subkultur sendiri-sendiri. Sehingga anda akan mengenal subkultur kantor pajak yang berbeda dengan subkultur ”lapangan banteng” yaitu istilah kantor pusat Departemen Keuangan yang terletak di lapangan Banteng-Jakarta Pusat. Direktorat ini punya kultur yang berbeda pula dengan kultur pada Direktorat Bea dan Cukai, kantor Perbendaharaan Negara dan seterusnya.

TANTANGAN UNTUK MENEMUKAN NILAI-NILAI KOLEKTIF

Perbedaan bukan untuk dicemaskan, namun harus diakui dan diangkat sebagai kekayaan institusi. Hal yang perlu diwaspadai dari perbedaan dalam institusi adalah :

1. Dominasi satu subkultur : Ramuan kekuasaan dan politik organisasi yang tidak seimbang, terdapat selera di divisi sumber daya manusia dalam merekrut tenaga kerja dari profesi, universitas atau etnik tertentu. Akibatnya bisa menimbulkan sinisme dan hambatan komunikasi.

2. Subkultur yang lemah : Tidak ada aplikasi yang dapat tersalurkan dengan baik, pimpinan hanya kuat secara teknikal. Akibatnya kurang percaya diri.

3. Fragmentasi subkultur yang luas : Terlalu banyak nilai-nilai atau kelompok-kelompok dengan nilai-nilai sendiri. Agak sulit menyatukan organisasi dan organisasi harus bekerja keras untuk menemukan jati diriya serta spirit kesatuan.

4. Fragmentasi subkultur yang luas : Pergantian pemimpin berkali-kali tanpa visi yang jelas dengan interest masing-masing yang berbeda. Downsizing, restructuring, merger yang prosesnya berlarut-larut, lamban yang menghancurkan nilai-nilai lama dan tak ada yang menaruh minat terhadap rekonstruksi nilai-nilai baru. Terjadi kevakuman budaya.

Tantangan terbesar seorang transformer nilai-nilai adalah mencari cara terbaik untuk menggabung-gabungkan nilai-nilai tersebut. Hal itu butuh kesabaran, ketekunan, kecerdasan, dan tentu saja intergritas.

Perjalanan mulai dari melihat, percaya, bergerak, dan merumuskan nilai-nilai kolektif adalah proses yng panjang dan meletihkan, penuh dengan detail dan tidak mudah. Hanya orang-orang yang memiliki jiwa kenegarawan yang mampu membangunnya secara utuh. Tetapi, sekali ia peroleh, dan diterima oleh critical mass, organisasi akan memberikan buah-buah yang unggul secara berkelanjutan. Ia akan sangat menetukan kinerja organisasi di masa depan, siapa pun yang memimpinnya.

MEMOTRET SUBKULTUR

Masalah dalam memotret subkultur :

1.Orang lama dari dalam perusahaan (pejabat karir): kemungkinan besar terlihat jelas, namun bias oleh kaca mata fungsinya.

2.Orang yang sama sekali baru (biasa berkarir diluar perusahaan / institusi) : memerlukan waktu untuk mengenal betul sub-sub kultur. Kemungkinan besar menerima informasi bias dari tokoh-tokoh kunci.

3.Orang asing (stranger) : kemungkinan kurang peduli dengan subkultur.

Oleh karena masalah diatas, pemimpin perubahan tidak bisa bekerja sendiri perlu dibantu oleh tim yang optimis, yang diberi wewenang untuk mengakses seluruh unit dalam perusahaan / institusi. Pemimpin sendiri harus punya waktu untuk memotret, mendengarkan, mengarahkan dan menggerakan timnya. Selain itu butuh pihak ketiga yang kredibel, ahli dan bebas dari kepentingan sehingga dapat diterima oleh semua subkultur dan semua pihak bersedia menceritakan kediriannya.

Terdapat beberapa alat bantu untuk memotret sub kultur, seperti :

§ Bagan organisasi beserta perubahan-perubahannya dalam sepuluh tahun terakhir.

§ Carrier track dari tokoh-tokoh kunci, baik formal maupun informal

§ Hubungan kerja serta proses bisnis organisasi

§ Forum-forum diskusi yang melibatkan berbagai kelompok.

Pemotretan dilakukan dengan beberapa observasi dan field study serta survey, wawancara mendalam, dan teknik-teknik riset. Dengan tujuan untuk memetakan dan mengambil nilai-nilai yang dianut. Dalam hal ini secara garis besar terdapat dua subkultur yaitu pertama subkultur yang jelas kediriannya dan kedua yang kurang menonjolkan nilai-nlainya. Berbeda tipe subkultur akan berbeda pula cara perlakuannya.

Yang terpenting adalah kemampuan memperoleh dan membentuk nilai-nilai positif pada masing-masing unit menurut cara masing-masing subkultur. Dengan memahami, mengakui dan menimbulkan nilai-nilai tersebut maka akan didapat unsur-unsur yang paling dalam yaitu invisible artifacts, yang merupakan nilai-nilai dasar, keyakinan, dan asumsi-asumsi yang dianut oleh subkultur-subkultur.

Merajut Nilai-nilai Subkultur Menjadi Budaya Korporat

Output pada pemotretan subkultur adalah sebuah dokumen yang kaya dengan informasi dan cerita yang mengandung nilai-nilai dari masing-masing subkultur.semua itu dapat digali dari berbagai sisi. Dari riset, observasi, dialog, penggalian sejarah, dan sebagainya. Masalahnya sekarang adalah bagaimana menyatukan nilai-nilai yang masih dominan dalam masing-masing silo (subkultur)?

Kesalahan yang sering terjadi adalah adanya deadline yang memaksa konsultan atau perumus budaya bekerja secepat mungkin, kemudian mereka menggabungkan dan menyimpulkan begitu saja masing-masing nilai tersebut ke dalam sebuah pernyataan budaya. Cara tersebut tak dianjurkan karena dapat mereduksi kekayaan korporat ke dalam selembar kertas yang tidak bermakna.

Adapun cara-cara yang dapat ditempuh untuk merumuskan atau membuat suatu pernyataan budaya yaitu dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Harus dialogis. Proses penyatuan nilai dilakukan dengan melakukan cross selling, yaitu dengan cara bertukar pikiran, dimana masing-masing subkultur mempresentasikan nilainya.

2. Harus Partisipatif. Presentasi tidak dilakukan oleh pihak-pihak ketiga, melainkan oleh si pemilik kultur-kultur itu sendiri. sehingga, partisipasi dari setiap figur akan mempermudah proses penyatuan nilai itu.

3. Harus memberikan ruang terhadap “Buy-in-process”. Proses ini harus memberikan ruang kepada seluruh pihak untuk merasa memiliki dan mengakui bahwa merekalah yang membuat nilai-nilai itu.

4. Harus kaya cerita. Pernyataan budaya tidak boleh sekedar berisi kalimat-kalimat normatif agar lebih bermakna. Upayakan agar penuturannya seperti bercerita sehingga dapat menjiwai dan pendengarnya akan berimajinasi tentang budaya korporatnya.

5. Harus praktis dan mampu dijabarkan kedalam elemen-elemen budaya (ritual, seremoni, simbol-simbol, dll). Pernyataan budaya harus bisa ditunjukkan atau ditirukan kedalam bentuk simbol-simbol yang mewakili organisasi tersebut.

6. Harus orisinal dan berbeda. Pernyataan budaya ini harus orisinil, agar tidak dipandang sinis oleh berbagai pihak. Dengan kata lain, harus benar-benar unik, berasal dari proses sejarah asli institusi tersebut dan bukan merupakan plagiatisme .

Proses pembentukan atau perumusan budaya institusi tidak dapat dilakukan dengan jangka waktu yang singkat, karena proses tersebut bukanlah proses mudah yang bisa dikerjakan semua orang, sekalipun hal tersebut secara konseptual memang mudah dilakukan.

Visioning: Proses Menyatukan Nilai-nilai Budaya Korporat

Visioning adalah sebuah proses yang menyatukan mozaik-mozaik nilai dari masing-masing subkultur menjadi sebuah rumusan budaya yang diterima semua pihak. Proses ini dapat disebut juga sebagai “pencerahan”.

Tahapan dalam proses visioning:

1. Merumuskan nilai-nilai masing-masing subkultur

Proses pada tahap ini sudah dijelaskan di muka. Kemudian, setelah proses perumusan dilakukan, Nilai-nilai yang telah dirumuskan tersebut kemudian diproses pada tahapan berikutnya.

2. Membawa nilai-nilai dari subkultur-subkultur tersebut ke dalam sebuah forum untuk merumuskan nilai-nilai bersama.

Proses ini bertujuan untuk membangun trust di antara blok-blok subkultur yang berbeda-beda. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara diskusi dalam sebuah forum. Adapun bahasan dalam forum tersebut antara lain adalah asal mula munculnya nilai-nilai tersebut, jati diri kelompok, simbol-simbol kelompok, kisah-kisah tentang kegagalan dan kesuksesan, dan lainnya.

3. Memperkaya nilai-nilai dan visi organisasi ke depan dan merumuskannya ke dalam strategi budaya.

Setelah melalui proses kedua, nilai-nilai yang telah ada dan disepakati kemudian dikumpulkan untuk menjadikannya sebagai sebuah budaya dalam suatu organisasi. Perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai tersebut bukanlah sebuah jurang yang memisahkannya, namun dapat dipakai sebagai sebuah perekat atau bahkan penghias yang dapat mewarnai budaya korporat dalam organisasi. Organisasi memerlukan budaya korporat untuk menjembatani keadaan sekarang dengan masa depan. Oleh karena itu, budaya korporat diperlukan oleh setiap organisasi sebagai sebuah sarana untuk menggapai visi.

· Tujuan akhir proses visioning tersebut adalah untuk menemukan nilai-nilai, perilaku, kebiasaan-kebiasaan, pandangan-pandangan dari setiap subkultur yang dapat dipakai untuk membentuk kultur baru.

· Budaya koorporat tersebut adalah strategi untuk menjembatani masa depan. Proses ini disebut proses visioning yaitu pencerahan.

· Sebuah team yang merumuskan budaya koorporat dapat segera menganalisis dan membentuk semacam, draft budaya koorporat, hasilnya adalah memuat rumusan :

a. Nilai-nilai utama serta asumsi-asumsi dasar manusia koorporat. Berisi nilai-nilai utama yang harus menjadi tuntutan bagi setiap manusia yang tergabung di institusi ini, baik sebagai karyawan biasa maupun eksekutif atau pemimpin.

b. Asal mula nilai-nilai tersebut.

c. Visible artifacts yang masih relevan dan harus dibentuk.

d. Rekomendasi untuk menyatukan nilai-nilai tersebut, hambatan-hambatan yang mungkin muncul.

e. Rekomendasi tentang nilai-nilai dan kebiasaan yang harus dibuang.

f. Daftar tabu (hal-hal yang dilarang) sebagai karyawan / pimpinan di korporat.

PENUTUP

· Proses rekonstruksi masih harus berlangsung beberapa langkah lagi ke depan. Namun pada tahapan ini institusi sudah mengalami pergantian pemimpin dan hanya menghasilkan konsep saja. Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diingat :

a. Penggalian informasi, apapun bentuknya selalu menimbulkan ekspetasi.

b. Ekspetasi yang tidak segera direalisasi dapat menimbulkan kekecewaan-kekecewaan dan kekurang percayaan bawahan terhadap atasan.

c. Penggalian tidak boleh dilakukan berulang-ulang untuk hal yang sama dalam waktu yang singkat.

d. Penggalian dan visioning adalah proses yang meletihkan dan sangat menggangu ritual kerja, sehinnga pikirkan baik-baik pengorbanan dan biaya yang telah dikeluarkan.

e. Pergantian pemimpin tidak boleh megabaikan proses pembentukan nilai-nilai baru yang sedang berlangsung.

f. Konsep dapat bekerja jika dijalankan. Untuk menjalankanya dibutuhkan beberapa hal seperti komitmen dari seluruh pimpinan, proses sosialisasi yag merata terhadap karyawan lama, komunikasi yang intensif terutama kedalam dan sebaginya.

· Meskipun tidak selalu dibutuhkan, penerapan budaya korporat baru dapat dilakukan dengan membuat semacam kehebohan. Tujuannya adalah untuk menimbulkan perhatian seluruh lapisan insan organisasi. Misalnya diterapkan bebarengan dengan peluncuran logo baru, bentuk pelayanan baru. Semua ini harus dilakukan secara konseptual, konsisten, sistematis dan tertutup.

hari pertama bikin blog kelompokan

alhamdulillah blog uda dibuat...tinggal ngisi n posting tugas dah :)
sukses slalu buat anggota kelompok 11,caiyo...
makul PO dapet A smua aminnnn......